Sunday 24 July 2016

Asal Usul Kebijakan Moneter Inflasioner

Meski kita tahu apa saja yang harus terjadi untuk bisa mengakibatkan sebuah inflasi yang cepat – tingginya pertumbuhan uang – kita masih tidak akan bisa memahami mengapa inflasi tinggi ini terjadi sebelum kita mempelajari bagaimana dan mengapa kebijakan moneter inflasi muncul. Jika semua orang setuju bahwa inflasi bukanlah hal yang bagus untuk perekonomian, mengapa kita menantikannya? Mengapa pemerintah melakukani kebijakan moneter yang inflasioner? Karena tidak ada sesuatu pun yang secara intrinsik diinginkan mengenai inflasi dan karena kita tahu bahwa tingginya pertumbuhan uang tidak terjadi dengan sendirinya, pastilah dalam upayanya untuk mencapai tujuan lain, pemerintah berakhir dengan tingkat pertumbuhan uang yang tinggi dan inflasi yang tinggi. Di bagian ini kita akan memeriksa kebijakan-kebijakan pemerintah yang merupakan sumber umum inflasi.

FIGUR 4 Respons terhadap Guncangan Penawaran

Guncangan penawaran yang negatif (atau dorongan upah) menggeser kurva penawaran aggregat jangka pendek ke kiri ke AS2 dan menghasilkan pengangguran yang tinggi pada titik 1’. Akibatnya, kurva penawaran aggregat bergeser kembali ke kanan untuk AS1 dan perekonomian akan kembali ke titik 1, dimana tingkat harga telah kembali P1.


•    Target kesempatan kerja yang tinggi dan Inflasi
Tujuan pertama kebanyakan pemerintah yang seringkali mengakibatkan terjadinya inflasi adalah tingginya jumlah pekerja. Pemerintah AS berkomitmen dengan hukum (undang-undang pekerja di tahun 1946 dan Undang-Undang Humphrey-Hawkins di tahun 1978) untuk mempromosikan tingginya jumlah pekerja. Meski benar bahwa kedua hukum ini mensyaratkan sebuah komitmen ke tingkat jumlah pekerja tinggi yang sesuai dengan sebuah tingkat harga yang stabil, dalam prakteknya, pemerintah seringkali mengejar target high employment dengan tanpa mempedulikan konsekuensi inflasi dari kebijakan-kebijakannya. Hal ini benar terjadi khususnya di pertengahan tahun 1960an dan 1970an, dimana pemerintah mulai mengambil peranan yang lebih aktif dalam berusaha untuk menstabilkan pengangguran.
    Dua tipe inflasi bisa terjadi dari sebuah kebijakan stabilisasi aktivis untuk mempromosikan pengangguran tinggi: biaya – mendorong inflasi , yang terjadi karena guncangan penawaran yang  negatif atau oleh push (dorongan) para pekerja untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi, dan permintaan – menarik inflasi, yang terjadi ketika para pembuat kebijakan mengejar kebijakan-kebijakan yang menggeser kurva permintaan agregat ke kanan. Kini kita akan menggunakan analisa permintaan dan penawaran agregat untuk memeriksa bagaimana target kesempatan kerja yang tinggi dapat mengarah pada kedua tipe inflasi ini.
•    Inflasi karena Dorongan Biaya (Cost-Push Inflation)
Dalam kurva 2.5 perekonomian pada awalnya berada di titik 1, perpotongan antara kurva permintaan agregat AD1 dan kurva penawaran agregat AS1. Seandainya para pekerja memutuskan untuk mencari upah yang lebih tinggi, entah karena mereka ingin meningkatkan upah riil mereka (upah dalam artian barang dan jasa yang bisa mereka beli) atau karena mereka mengharapkan inflasi tinggi dan mereka tetap bisa sejalan dengan inflasi. Pengaruh dari peningkatan semacam ini (serupa dengan guncangan penawaran negatif) akan menggerakkan kurva penawaran agregat ke arah kiri menuju AS2. Jika kebijakan fiskal pemerintah dan kebijakan moneter pemerintah tetap tidak berubah, perekonomian akan bergerak ke titik 1’ di perpotongan antara kurva penawaran agregat baru di AS2 dan kurva permintaan agregat AD1. Output akan mengalami penurunan dibawah level tingkat natural Yn dan level harga akan naik ke P1.

FIGUR 5 Cost-Push Inflasion dengan Kebijakan Aktivis untuk Meningkatkan Kesempatan Kerja yang Tinggi

Dalam biaya – inflasi dorongan, pergeseran penawaran agregat dari AS1 ke AS2 ke AS3 dan seterusnya menyebabkan pemerintah dengan target jumlah pekerja yang tinggi untuk menggeser kurva permintaan agregat ke kanan terus – menerus untuk menjaga pengangguran dan output pada alam tingkat bunga. Hasilnya adalah terus meningkatnya tingkat harga dari P1 ke P2 dan P3 dan seterusnya.


Apa yang akan dilakukan oleh pembuat kebijakan aktivis dengan target jumlah pekerja yang tinggi jika situasi ini terjadi? Karena adanya penurunan dalam output dan peningkatan dalam pengangguran, mereka akan menerapkan kebijakan yang dapat menaikkan kurva permintaan agregat ke AD2, sehingga kita akan kembali ke output di tingkat alamiah pada titik 2 dan level harga P2. Para pekerja yang telah meningkatkan upah mereka tidak akan terlalu merugi. Pemerintah telah turut campur untuk memastikan bahwa tidak ada kelebihan pengangguran, dan para pekerja mencapai tujuannya untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi. Karena pemerintah telah memberikan permintaan upah tinggi para pekerja, sebuah kebijakan aktivis dengan sebuah target kesempatan kerja yang tinggi seringkali dirujuk sebagai sebuah kebijakan yang mengakomodasi (accomodating policy).
    Para pekerja, setelah mendapatkan bagiannya, mungkin akan merasa terdorong untuk mencari upah yang lebih tinggi lagi. Selain itu, para pekerja lain mungkin kini menyadari bahwa upah mereka telah turun drastis relatif dibandingkan dengan sesama rekan mereka, dan karena mereka tidak ingin tertinggal, para pekerja ini akan mencari cara untuk menaikkan upah mereka. Hasilnya adalah bahwa kurva penawaran agregat akan sekali lagi bergeser ke kiri, ke AS3. Pengangguran akan kembali terjadi ketika kita bergerak ke titik 2’, dan kebijakan aktivis akan sekali lagi digunakan untuk menggeser kurva permintaan agregat ke arah kanan ke AD3 dan mengembalikan perekonomian ke pekerja penuh pada tingkat harga P3. Jika proses ini terus berlanjut, hasilnya adalah peningkatan terus-menerus dalam tingkat harga – sebuah cost-push inflation.
    Peranan apa yang dimainkan oleh kebijakan moneter dalam sebuah cost-push inflation? Sebuah cost-push inflation dapat terjadi hanya jika kurva permintaan agregat bergeser secara terus-menerus ke arah kanan. Dalam analisa Keynesian, pergeseran pertama dari kurva permintaan agregat ke AD2 dapat dicapai oleh sebuah kenaikan satu kali dalam pengeluaran pemerintah atau sebuah penurunan satu kali dalam pajak. Tapi bagaimana dengan pergeseran kurva permintaan agregat ini ke arah kanan menuju AD3 berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya lagi? Batasan mengenai level pengeluaran pemerintah maksimum dan tingkat pajak minimum akan dapat mencegah penggunaan kebijakan fiskal ini dalam jangka waktu lama. Sehingga, kebijakan ini tidak bisa digunakan secara kontinyu untuk menggeser kurva permintaan agregat ke kanan. Tapi kurva permintaan agregat dapat digeser ke kanan secara kontinyu dengan jalan menaikkan uang beredar secara terus-menerus, yakni, dengan menjalani pertumbuhan uang pada tingkat yang lebih tinggi. Oleh karenanya, sebuah cost-push inflation merupakan fenomena moneter karena tidak dapat terjadi tanpa otoritas moneter melakukan  kebijakan yang mengakomodasi pertumbuhan uang yang lebih tinggi.
•    Inflasi karena Tarikan Permintaan (Demand-pull Inflation)
Kesempatan kerja yang tinggi dapat mengarah pada kebijakan moneter inflasi dalam cara lain. Bahkan pada tingkat pengerjaan penuh, pengangguran masih tetap selalu ada karena adanya friksi dalam pasar tenaga kerja, yang membuatnya sulit untuk segera mempertemukan pekerja yang belum bekerja dan memeberi kerja. Seorang pekerja montir yang menganggur di Detroit mungkin tidak tahu tentang sebuah lowongan pekerjaan di industri elektronik di California, atau, bahkan ketika dia tahu, mungkin tidak ingin pindah atau ditraining ulang. Jadi tingkat unemployment ketika terdapat full employment (tingkat natural unemployment) akan lebih besar daripada nol. Jika pembuat kebijakan menentukan sebuah target untuk unemployment yang terlalu rendah karena nilainya lebih kecil dibanding tingkat unemployment natural, hal ini bisa mengakibatkan sebuah tingkat pertumbuhan yang yang lebih tinggi dan menghasilkan inflasi. Sekali lagi kita bisa menunjukkan bagaimana hal ini terjadi dengan menggunakan sebuah diagram permintaan dan penawaran agregat (lihat gambar 2.6).
Jika pembuat kebijakan memiliki sebuah target pengangguran (katakanlah 4%) yang berada dibawah tingkat alamiah (diestimasikan antara 4 ½% dan 5 ½% saat ini), mereka akan berusaha untuk mencapai sebuah target output lebih besar dibandingkan dengan level output tingkat alamiah. Target level output ini ditandai sebagai YT di dalam Bagan 6. Seandainya kita pada awalnya berada di titik 1; perekonomian berada di level output tingkat alamiah tapi berada dibawah level output target YT. Untuk bisa menembak target pengangguran 4%, para pembuat kebijakan memberlakukan kebijakan untuk meningkatkan permintaan agregat, dan efek dari kebijakan ini akan menggeser kurva permintaan agregat hingga mencapai titik AD2 dan perekonomian bergerak ke titik 1’. Output berada di YT, dan target pengangguran 4% yang dituju telah tercapai.
    Jika tingkat pengangguran yang ditarget adalah level tingkat alamiah antara 4 ½% dan 5 ½% maka tidak akan ada masalah. Namun, karena pada YT tingkat pengangguran 4% ini berada dibawah tingkat alamiah, upah akan naik dan kurva penawaran agregat akan bergeser ke AS2, menggerakkan perekonomian dari titik 1’ ke titik 2. Perekonomian kembali berada di tingkat pengangguran alamiah , tapi pada tingkat harga yang lebih tinggi di P2. Kita bisa berhenti disini, tapi karena pengangguran sekali lagi lebih tinggi dibandingkan level target, maka pembuat kebijakan akan sekali lagi menggeser kurva permintaan agregat ke arah kanan ke AD3 untuk menembak target output di titik 2’ dan seluruh proses akan berulang sehingga menggerakkan perekonomian ke titik 3 dan seterusnya. Hasil keseluruhan adalah kenaikan level harga yang kontinyu – sebuah inflasi.
    Bagaimana pembuat kebijakan bisa terus menerus menggeser kurva permintaan agregat ke arah kanan? Kita telah melihat bahwa mereka tidak bisa melakukannya melalui kebijakan fiskal, karena adanya batasan dalam menaikkan pengeluaran pemerintah dan menurunkan pajak. Namun mereka akan harus kembali ke perluasan kebijakan moneter: sebuah kenaikan secara terus-menerus dalam uang beredar dan karenanya akan menghasilkan tingkat pertumbuhan yang yang tinggi.

Gambar 6 Demand-Pull Inflation: Konsekuensi Penetapan Target Pengangguran yang Terlalu Rendah


Target pengangguran yang terlalu rendah (target  output yang terlalu tinggi sebesar YT) menyebabkan pemerintah menggeser kurva permintaan agregat ke kanan dari AD1 ke AD2 ke AD3 dan seterusnya, sementara kurva penawaran agregat bergeser ke kiri dari AS1 ke AS2 ke AS3 dan seterusnya. Hasilnya adalah melanjutkan kenaikan tingkat harga yang dikenal dengan Demand-Pull Inflation


Mengejar target output yang terlalu tinggi, atau setara dengan ini, tingkat pengagguran yang terlalu rendah merupakan sumber kebijakan moneter inflasi dalam situasi ini, tapi hal ini tampaknya tidak terlihat oleh para pembuat kebijakan yang melakukan hal ini. Mereka tidak mendapatkan benefit dalam level output yang lebih tinggi tapi justru menghasilkan sebuah inflasi. Jika mereka tidak menyadari bahwa tingkat target pengagguran ada dibawah tingkat alamiah, proses yang kita lihat dalam Figur 6 ini akan bisa terjadi bahkan sebelum mereka menyadari kesalahan mereka.
    Karena inflasi yang dideskripsikan dihasilkan dari pembuat kebijakan yang mengadopsi kebijakan yang dapat menggeser kurva permintaan agregat ke arah kanan, maka hal ini disebut sebagai demand-pull inflation. Sebaliknya, sebuah cost-push inflation terjadi ketika para pekerja mendorong upah mereka agar naik. Apakah mudah untuk membedakan antara kedua jenis inflasi ini dalam prakteknya? Jawabannya adalah tidak. Kita telah melihat bahwa kedua tipe inflasi ini akan diasosiasikan dengan pertumbuhan uang yang lebih tinggi, jadi kita tidak bisa membedakan mereka dalam basis ini. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh gambar 5 dan 6, demand-pull inflation akan diasosiasikan dengan periode waktu dimana pengagguran dibawah level tingkat natural, sementara cost-push inflation diasosiasikan dengan periode-periode dimana pengagguran diatas level tingkat natural. Untuk memutuskan tipe inflasi mana yang terjadi, kita bisa melihat pada apakah pengagguran berada di atas atau dibawah level tingkat naturalnya. Hal ini akan mudah jika ahli ekonomi dan para pembuat kebijakan secara aktual tahu bagaimana menghitung tingkat pengagguran natural; sayangnya, pertanyaan riset yang sangat sulit ini masih belum bisa sepenuhnya dipecahkan oleh profesi ekonom. Selain itu, perbedaan antara inflasi cost-push dan demand-pull masih cukup samar, karena sebuah cost-push inflation bisa dimulai oleh sebuah demand-pull inflation: Ketika sebuah demand-pull inflation menghasilkan tingkat inflasi yang lebih tinggi, expected inflation pada akhirnya akan meningkat dan menyebabkan para pekerja untuk menuntut upah yang lehi tinggi sehingga upah riil mereka tidak akan turun. Dalam cara ini, demand-pull inflation dapat memicu cost-push inflation.
•    Kendala Anggaran Pemerintah
Karena pemerintah harus membayar tagihannya seperti halnya kita, maka mereka memiliki batasan anggaran (budget constraint). Terdapat dua cara dimana kita bisa membayar pengeluaran kita: menaikkan revenue (dengan bekerja) atau meminjam. Pemerintah juga menikmati dua opsi ini: menaikkan revenue dengan memungut pajak atau berhutang dengan jalan mengeluarkan obligasi pemerintah. Tidak sama seperti kita, pemerintah juga memiliki opsi ketiga: pemerintah bisa menciptakan uang dan menggunakannya untuk membayar barang dan jasa yang mereka beli.
Metode pembiayaan atas pengeluaran pemerintah dideskripsikan dengan sebuah ekspresi yang disebut sebagai kendala anggaran pemerintah (government budget constraint), yang dinyatakan sebagai berikut: defisit anggaran pemerintah DEF, yang sama dengan kelebihan pengeluaran pemerintah G atas revenue pajak T, harus sama dengan perubahan dalam basis moneter ∆MB dan perubahan dalam obligasi pemerintah yang dipegang publik ∆B. Secara aljabar, ekspresi ini dapat ditulis sebagai berikut:

DEF=G-T=∆MB+∆B

Untuk melihat apa arti kendala anggaran pemerintah ini dalam praktek, mari kita lihat pada kasus dimana satu-satunya pembelian pemerintah adalah sebuah superkomputer senilai $100 juta. Jika pemerintah meyakinkan para pemilih bahwa komputer semacam ini layak untuk dibayar, mereka mungkin akan dapat mengumpulkan $100 juta dalam bentuk pajak untuk membayarnya, dan defisit anggaran akan sama dengan nol. Government budget constraint kemudian mengatakan pada kita bahwa tidak ada uang atau obligasi yang dibutuhkan untuk membayar komputer tersebut, karena anggaran sudah seimbang. Jika pembayar pajak beranggapan bahwa superkomputer ini terlalu mahal dan menolak membayar pajak untuk itu, budget constraint mengindikasikan bahwa pemerintah harus membayarnya dengan menjual $100 juta obligasi baru kepada publik atau dengan mencetak mata uang senilai $100 juta untuk membayar komputer tersebut.

Kendala anggaran pemerintah relevan dengan dua fakta penting: Jika defisit pemerintah dibiayai oleh kenaikan jumlah obligasi yang dipegang oleh publik, tidak terdapat pengaruh terhadap uamg primer demikian pula terhadap uang beredar. Namun,  jika defisit tidak dibiayai oleh kenaikan obligasi yang dipegang oleh publik, uang primer dan uang beredar akan meningkat.
Terdapat beberapa cara untuk memahami mengapa sebuah defisit menyebabkankenaikan uang primer ketika obligasi pemerintah yang dipegang publik tidak meningkat. Kasus paling sederhana adalah ketika bendahara negara memiliki hak hukum untuk mencetak mata uang dalam rangka membiayai defisitnya. Pembiayaan defisit ini sangatlah bersifat langsung yakni Pemerintah akan membayar untuk pengeluaran yang lebih besar dibandingkan dengan penerimaan pajak dengan menggunakan mata uang kartal baru. Karena peningkatan dalam mata uang ini memberikan tambahan langsung terhadap uang primer, maka uang primer akan meningkat dan uang berdar pun akan naik melalui proses deposito berganda.
Di Amerika Serikat, dan dalam banyak negara lainnya, pemerintah tidak memiliki hak untuk mencetak mata uang kartal dalam rangka membayar tagihannya. Dalam kasus ini, pemerintah harus membiayai defisit dengan mula-mula mengeluarkan obligasi kepada publik untuk mendapatkan dana ekstra dalam rangka membayar tagihannya. Namun jika obligasi-obligasi ini tidak berakhir di tangan publik, satu-satunya alternatif adalah mereka harus dibeli oleh bank sentral. Agar obligasi pemerintah tidak berakhir di tangan publik, bank sentral harus melakukan pembelian pasar terbuka, yang akan dapat mengarah pada kenaikan uang primer dan uang beredar. Metode pembiayaan atas pengeluaran pemerintah ini disebut memonetisasi utang (monetizing the debt) karena, seperti yang dideskripsikan dalam proses dua langkah ini, hutang pemerintah yang dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah telah dihilangkan dari tangan publik dan telah digantikan oleh uang primer (high-powered money). Metode pembiayaan ini, atau metode yang lebih langsung ketika sebuah pemerintah hanya mengeluarkan mata uang kartal secara langsung juga sering sekali tidak akurat, disebut sebagai pencetakan uang (printing money) karena uang primer diciptakan di dalam proses ini. Penggunaan kata pencetakan ini menyesatkan karena apa yang esensial bagi metode pembiayaan atas pengeluaran pemerintah ini bukanlah mencetak uang secara aktual, melainkan mengeluarkan liabilitas moneter kepada publik setelah uang dicetak.
Karenanya kita melihat bahwa sebuah defisit anggaran dapat mengarah pada peningkatan uang beredar jika defisit ini dibiayai oleh penciptaan uang primer. Meski demikian, di awal bab ini terlihat bahwa inflasi dapat muncul hanya ketika stok uang tumbuh secara terus-menerus. Bisakah sebuah defisit anggaran yang dibiayai dengan pencetakan uang melakukan hal ini? Jawabannya adalah ya, jika defisit anggaran tetap ada untuk sebuah kurun waktu yang cukup lama. Dalam periode pertama, jika defisit ini dibiayai oleh pencetakan uang, uang beredar akan naik, menggeser kurva permintaan agregat ke kanan dan mengarah pada kenaikan di dalam tingkat  harga. Jika defisit anggaran masih eksis dalam periode berikutnya, maka defisit ini harus dibiayai lagi. Uang beredar akan kembali mengalami kenaikan, dan kurva permintaan agregat akan sekali lagi bergeser ke kanan, menyebabkan tingkat harga mengalami kenaikan lebih jauh. Selama defisit anggaran tetap ada dan pemerintah memutuskan untuk mencetak uang lebih banyak untuk membayarnya, proses ini akan terus berlanjut. Membiayai defisit yang terus ada dengan penciptaan uang akan menyebabkan inflasi terus-menerus terjadi.
Unsur penting dalam proses ini adalah bahwa defisit terus ada. Jika sementara, proses ini tidak akan menghasilkan sebuah inflasi serupa. Dimana terdapat sebuah kenaikan satu kali dalam pengeluaran pemerintah. Dalam periode dimana defisit terjadi, akan terdapat sebuah peningkatan dalam uang untuk membiayainya, dan hasilnya adalah pergeseran ke kanan untuk kurva permintaan agregat yang akan menaikkan tingkat harga. Jika defisit ini menghilang di periode selanjutnya, tidak lagi ada kebutuhan untuk mencetak uang. Kurva permintaan agregat tidak akan bergeser lagi, dan tingkat harga tidak akan terus naik. Sehingga, kenaikan satu kali dalam uang beredar dari defisit sementara hanya akan menghasilkan kenaikan satu kali dalam tingkat harga, dan tidak ada inflasi yang terjadi.
Ringkasnya, defisit bisa menjadi sumber dari sebuah inflasi berkelanjutan hanya jika defisit itu terjadi terus-menerus dan bukan temporer serta jika pemerintah membiayai defisit ini dengan menciptakan uang dan daripada mengeluarkan obligasi bagi publik.
•    Defisit Anggaran dan Penciptaan Uang di Negara Lain
Meski Amerika Serikat mempunyai pasar uang dan modal yang sudah berkembang dengan baik dimana sejumlah besar obligasi pemerintah, baik itu jangka pendek atau jangka panjang, dapat dijual, ini bukanlah situasi yang terjadi di banyak negara berkembang. Jika negara berkembang mengalami defisit anggaran, mereka tidak akan dapat membiayainya dengan mengeluarkan obligasi dan hanya bisa beralih ke alternatif lain yakni mencetak uang. Sebagai akibatnya, ketika mereka memiliki defisit yang besar relatif terhadap PDB1, uang beredar tumbuh pada tingkat yang cukup besar dan inflasi terjadi.
Di awal bab ini kita merujuk negara-negara Amerika Latin dengan tingkat inflasi tinggi dan pertumbuhan yang yang tinggi sebagai bukti bahwa inflasi adalah sebuah fenomena moneter. Negara-negara Amerika Latin dengan pertumbuhan uang yang tinggi adalah mereka yang memiliki defisit anggaran yang persisten dan cukup besar relatif terhadap PDB. Satu-satunya cara untuk membiayai defisit ini adalah dengan mencetak lebih banyak uang, sehingga sumber utama dari tingkat inflasi mereka yang tinggi adalah defisit anggaran mereka yang besar.
Dalam semua episode hiperinflasi, defisit anggaran pemerintah yang besar juga merupakan sumber utama kebijakan moneter inflasi. Defisit anggaran selama hiperinflasi sangatlah besar sehingga bahkan jika sebuah capital market sudah eksis untuk mengeluarkan obligasi pemerintah, mereka tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menangani kuantitas obligasi yang hendak dijual oleh pemerintah. Dalam situasi ini, pemerintah harus beralih ke mesin cetak uang untuk membiayai defisit yang ada
•    Defisit Anggaran dan Penciptaan Uang di Amerika Serikat
Sejauh ini telah terlihat mengapa defisit anggaran dalam beberapa negara harus mengarah pada penciptaan uang dan inflasi. Entah apakah defisit ini termasuk besar, atau negara ini tidak memiliki akses yang memadai terhadap pasar modal dimana mereka dapat menjual obligasi pemerintah. Tapi tidak satupun dari skenario ini tampaknya dapat mendeskripsikan situasi yang terjadi di Amerika Serikat. Memang benar, defisit Amerika Serikat cukup besar di tahun 1980 dan 1990an, tapi meski demikian, besaran defisit ini terhadap PDB masih cukup kecil jika dibandingkan dengan defisit negara-negara yang mengalami hiperinflasi: Defisit AS dalam persentase PDB mencapai puncak 6% di tahun 1983, dimana defisit anggaran Argentina terkadang justru melebihi 15% PDB. Lebih jauh lagi, karena Amerika Serikat memiliki pasar obligasi pemerintah yang paling bagus dibandingkan negara lainnya di dunia, mereka dapat mengeluarkan sejumlah besar obligasi ketika mereka membutuhkannya untuk membiayai defisit anggarannya.
Apakah defisit anggaran dapat mempengaruhi uang primer dan uang beredar akan tergantung pada bagaimana Federal Reserve memilih untuk melakukan kebijakan moneternya. Jika the Fed mengadopsi sebuah tujuan kebijakan dalam mencegah suku bunga tinggi, banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa sebuah defisit anggaran akan mengarah pada pencetakan uang. Alasan mereka, menggunakan analisis supply and demand (permintaan dan penawaran) terhadap pasar obligasi yaitu Ketika Treasury mengeluarkan obligasi kepada publik, penawaran obligasi akan meningkat,menyebabkan suku bunga meningkat dan harga obligasi akan turun. Jika the Fed memperhitungkan kenaikan dalam suku bunga ini sebagai hal yang tidak diinginkan, maka mereka akan membeli obligasi untuk menyokong harga obligasi dan menurunkan suku bunga. Hasilnya adalah defisit anggaran pemerintah dapat mengarah pada pembelian pasar terbuka yang dilakukan oleh the Fed, yang dapat menaikkan uang primer (menciptakan high-powered money) dan menaikkan uang beredar. Jika defisit anggaran tetap ada sehingga kuantitas obligasi yang ditawarkan tetap naik, tekanan diatas terhadap suku bunga akan terus terjadi, the Fed akan membeli obligasi lagi dan lagi, dan uang beredar akan terus naik, menghasilkan sebuah inflasi.
Ahli ekonomi seperti misalnya Robert Barro dari Harvard University, tidak setuju bahwa defisit anggaran mempengaruhi uang primer dalam cara yang dijelaskan diatas. Analisa mereka (yang disebut oleh Barro sebagai Ricardian equivalence dari ahli ekonomi Inggris abad sembilan belas, David Ricardo) berpendapat bahwa ketika pemerintah mengalami defisit dan mengeluarkan obligasi, publik mengenali bahwa hal ini akan menjadi subyek pajak yang lebih tinggi di masa depan untuk membayar kembali obligasi-obligasi ini. Publik kemudian menabung lebih banyak dalam antisipasi untuk pajak masa depan ini, dengan hasil akhir permintaan publik untuk obligasi mengalami kenaikan sehingga sebanding dengan peningkatan penawaran..
Ringkasnya, meski inflasi tinggi “selalu dan dimanapun merupakan sebuah fenomena moneter” dalam artian bahwa inflasi ini tidak akan dapat terjadi tanpa adanya tingkat pertumbuhan uang yang tinggi, terdapat alasan-alasan mengapa kebijakan moneter inflasi ini diadopsi. Dua alasan dasarnya adalah kelekatan para pembuat kebijakan pada target kesempatan kerja yang tinggi dan adanya defisit anggaran pemerintah yang terus-menerus.

No comments:

Post a Comment